Sila ke Lima Pancasila Masih Menjadi Dilema
YOGYAKARTA — Kemerdekaan Indonesia yang berusia 73 tahun masih banyak menyisakan permasalahan bagi bangsa ini. Tak terkecuali dalam menerapkan sila ke lima Pancasila, yakni keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Sila ini masih kerap menjadi dilema ketika melihat kenyataan yang ada di negeri ini. Khususnya dengan banyaknya ketimpangan sosial yang terjadi.
Hal itu disampaikan Buya Syafii Maarif saat menjadi pemateri dalam kuliah pakar yang diselenggarakan Program Doktor Politik Islam-Ilmu Politik, Magister Ilmu Pemerintahan, Magister Hubungan Internasional dan Ahmad Syafii Maarif (ASM) School of Political Thought and Humanity Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY).
Kuliah pakar yang digelar Senin (9/4/2018) di Ruang Sidang Direktur Pascasarjana UMY ini, membahas permasalahan sosial yang ada di Indonesia.
Selain Buya Syafii Maarif, hadir pula Apolo Safano (Rektor Universitas Cendrawasih Papua) sebagai pembicara.
Buya Syafii berpendapat, banyak politisi yang tidak faham dengan bangsanya sendiri. Tidak banyak menteri, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan politisi yang faham dengan kondisi ini.
Pembangunan yang tidak merata menyebabkan ketimpangan pada daerah yang berada jauh dari hingar-bingar cepatnya perputaran ekonomi. “Sebagai contoh, Papua menjadi daerah yang menduduki peringkat pertama tingkat kemiskinan, sedangkan DKI Jakarta menempati posisi paling buncit,” ujar Syafii Maarif.
Pada kesempatan itu, Buya Syafii Maarif juga menyampaikan, keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia menjadi sila yang kerap menjadi dilema ketika melihat kenyataan yang ada di negeri ini.
Banyaknya ketimpangan sosial yang menjadi pekerjaan rumah bagi para politisi seakan tidak berpedoman dengan Pancasila. “Padahal, Pancasila bisa menjadi pedoman dalam bernegara bagi para pemimpin saat ini,” kata Syafii Maarif.
Program bantuan untuk desa yang dimiliki pemerintah pusat, sebenarnya juga cukup besar, guna membangun daerah yang termasuk dalam kawasan 3T. Papua pun menjadi daerah yang mendapatkan bantuan tersebut. Akan tetapi keadaan di sana masih saja cukup memprihatinkan.
Sebagaimana diungkapkan Apolo Safano, Rektor Universitas Cendrawasih, para petinggi tingkat kampung yang ada di Papua sering meninggalkan kewajibannya untuk pergi membawa uang bantuan pemerintah tersebut.
“Di sana, begitu dapat dana kampung dari pemerintah, pejabat kampung langsung pergi. Alasannya pergi ke kota untuk beli keperluan desa, tapi satu tahun tidak balik-balik sehingga dana itu tidak dapat dirasakan oleh rakyatnya,” ungkap Apolo Safano.
Selain itu, tingginya sifat konsumtif warga Papua menyebabkan dana yang diberikan kepada warga cepat habis tanpa menghasilkan sesuatu. “Orang Papua itu konsumtif, dikasih uang sejuta, sehari itu juga langsung habis,” tegas Apolo yang sependapat dengan Buya Syafii bahwa permasalahan pada negeri ini bisa diatasi apabila pejabat dan rakyat yang ada di Indonesia bisa menanamkan nilai-nilai Pancasila. (Affan)
What's Your Reaction?
-
Like
-
Dislike
-
Funny
-
Angry
-
Sad
-
Wow