Ketum PPNA Sampaikan Penjelasan Islam Berkemajuan untuk Mahasiswa Bidikmisi UAD
YOGYA - Mahasiswa Beasiswa Program Misi (BPM) Universitas Ahmad Dahlan mengikuti pembinaan al-Islam dan Kemuhammadiyahan yang diselenggarakan oleh Lembaga Pengembangan Studi Islam (LPSI) UAD pada hari Ahad (26/5). Pada Program BPM ini ada tiga kategori yaitu BPM-KP (Keluarga Persyarikatan), BPM-HQ (Hafidz Qur’an), BPM-SSO (Sains, Seni dan Olahraga).
Pada kesempatan kali ini, Ketua Umum Pimpinan Pusat Nasyiyatul Aisyiyah (PPNA), Ariati Dina Puspitasari, M.Pd. mengisi studium generale untuk mahasiswa BPM Universitas Ahmad Dahlan di Amphitarium gedung utama lantai 9 Kampus IV.
Ariati mengawali dengan mengutip pesan K.H. Ahmad Dahlan untuk murid-muridnya, yaitu: “Dadiyo Kyai sing kemajuan lan aja kesel-kesel anggonmu nyambut gawe kanggo Muhammadiyah” yang artinya: “Jadilah kyai yang berkemajuan dan jangan lelah dalam bekerja untuk Muhammadiyah”.
Dalam penjelasan kedudukan Risalah Islam Berkemajuan (RIB), Islam berkemajuan merupakan cara pandang bahwa Islam adalah agama universal yang mengajarkan kehidupan yang maju dan menuntut umatnya untuk mewujudkan kemajuan itu dalam semua aspek kehidupan pada tataran pribadi, masyarakat, umat, bangsa dan kemanusaiaan universal.
Sejarah mencatat bahwa Islam berkemajuan telah menjadi ruh Muhammadiyah sejak periode awal. Kata-kata yang terbentuk dari “maju” seperti “memajukan” telah termaktub dalam statuten Muhammadiyah (1912) yang menyatakan bahwa tujuan Muhammadiyah adalah “memajukan hal agama kepada anggota-anggotanya”
Dua tahun kemudian (1914) rumusan “memajukan” di samoing tetap bertahan pada Statuten Muhammadiyah, juga ditambah dengan kata-kata “menggembirakan”, yang lengkapnya sebagai berikut:
“1. Memajukan dan menggembirakan pengajaran dan pelajaran agama di Hindia Nederland, dan 2. Memajukan dan menggembirakan kehidupan (cara hidup) sepanjang kemauan agama Islam kepada lid-lidnya.” Yakni anggota-anggota Muhammadiyah.
Keputusan Muktamar ke-37 (1968) menegaskan bahwa salah satu ciri dari masyarakat Islam yang menjadi tujuan Muhammadiyah adalah “berkemajuan” dengan demikian, menyuburkan Islam berkemajuan merupakan kesinambungan dari apa yang telah ditegaskan dan dilakukan oleh persyarikatan Muhammadiyah pada masa lalu dan menjadi spirit perjuangan untuk masa mendatang.
Lalu Ariati menjelaskan konsep dasar Islam Berkemajuan, yaitu: Islam berkemajuan meniscayakan Tajdid (pembaharuan) karena dalam menjalankan ajaran agama umat Islam harus menjawab dinamika dan tantangan baru yang belum pernah muncul pada masa-masa sebelumnya. Pembaharuan ini bermakna menemukan kembali hakikat agama dan bukan ancaman bagi otentisitas ajaran agama.
Muhammadiyah membawa misi Islam berkemajuan, maka dalam setiap zaman selalu ada orang atau kelompok yang menyerukan perbaikan (islah) atau pembaharuan (tajdid) dalam kehidupan umat Islam. Muhammadiyah hadir untuk menjalankan misi tersebut. Dalam menjalankan misi itu, Muhammadiyah menempatkan Islam sebagai pijakan, tuntunan dan spirit dalam menapaki perubahan, yang diwujudkan oleh Muhammadiyah dalam bentuk pemikiran, gerakan dan perkhidmatan.
Lalu pada karakteristik Islam berkemajuan, yaitu berlandaskan pada tauhid (al-Mabni ala at-Tauhid), bersumber pada al-Qur’an dan al-Sunnah (al-Ruju’ ila al-Qur’an wa al-Sunnah), menghidupkan ijtihad dan tajdid (ihya al-Ijtihad wa al-Tajdid), mengembangkan wasathiyah (Tanmiyat al-Wasathiyah), dan Mewujudkan rahmat bagi seluruh alam (Tahqiq al-Rahmah li al-Alamin).
Ariati mengutip pandangan dari Dr. Hamim Ilyas bahwa, akidah tauhid dalam Muhammadiyah diajarkan dalam kerangka al-urwatul wustqa. Ajaran tauhid dalam kerangka dan dengan mengimplementasikan tersebut merupakan sistem kepercayaan etis, yakni sistem kepercayaan tentang apa-apa yang wajib dipercayai dan menggerakkan untuk mengungkapkan kepercayaan tersebut dalam kehidupan nyata yang dijalani umat, berupa hidup baik dengan kriteria sejahtera, damai sedamai-damainya dan bahagia sebahagia-bahagianya.
Pertama, berlandaskan pada tauhid (al-Mabni ala at-Tauhid) yaitu yang pertama pada Q.S. Al-Baqarah ayat 256 dan kedua pada Q.S. Luqman ayat 22:
“Tidak ada paksaan dalam (menganut) agama (Islam), sesungguhnya telah jelas (perbedaan) antara jalan yang benar dengan jalan yang sesat. Barang siapa ingkar kepada Tagut dan beriman kepada Allah, maka sungguh, dia telah berpegang (teguh) pada tali yang sangat kuat yang tidak akan putus. Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui.” (Q.S. Al-Baqarah ayat 256)
“Dan barang siapa berserah diri kepada Allah, sedang dia orang yang berbuat kebaikan, maka sesungguhnya dia telah berpegang kepada buhul (tali) yang kokoh. Hanya kepada Allah kesudahan segala urusan.” (Q.S. Luqman ayat 22)
Kedua, bersumber pada al-Qur’an dan al-Sunnah. Al-Qur’an menjadi sumber utama untuk memahami dan mengamalkan Islam. Al-Qur’an menjadi sumber keyakinan, pengetahuan, hukum, norma, moral dan inspirasi sepanjang zaman. Sunnah Rasul adalah sumber kedua setelah al-Qur’an, yang menggambarkan diri nabi Muhammad SAW sebagai tekadan yang harus dicontoh.
Ketiga, menghidupkan ijtihad dan Tajdid. Ijtihad (mengerahkan pikiran), menjadi upaya yang sungguh-sungguh untuk memahami atau memaknai al-Qur’an dan al-Sunnah. Ijtihad dihidupkan melalui pemanfaatan akal dan ilmu pengetahuan yang dilakukan secara terus-menerus agar melahirkan pemahaman yang sesuai dengan tujuan agama dan dengan problem-problem yang dihadapi oleh umat manusia.
Kemudian, Ijtihad menjadi bagian yang sangat penting dalam pelaksanaan tajdid, yang bermakna pembaharuan baik dalam bentuk pemurnian maupun dinamisasi dalam pemahaman dan pengamalan agama. Tajdid diperlukan karena pemahaman agama selalu menghadapi tantangan zaman dan situasi masyarakat yang terus berubah. Tajdid menjadi upaya dalam mewujudkan cita-cita kemajuan dalam semua segi kehidupan seperti pemikiran, politik, ekonomi, sosial, pendidikan dan kebudayaan.
Keempat, mengembangkan wasathiyah. Islam itu sendiri sesungguhnya adalah agama wasahiyah (tengahan) yang menolak ekstremisme dalam beragama baik dalam bentuk sikap berlebihan (ghuluw) maupun sikap pengabaian (tafrith). Wasathiyah juga bermakna posisi tengah di antara dua kutub, yaitu ultra-konservatisme dan ulta-liberalisme dalam beragama. Selaras dengan itu, wasathiyah menuntut sikap seimbang (tawazun) antara kehidupan individu dan masyarakat, lahir dan batin, serta duniawi dan ukhrawi.
Cara berpikir dan bersikap Islam wasathiyah adalah, pertama tegas dalam pendirian, luas dalam wawasan, dan luwes dalam sikap. Kedua, menghargai perbedaan pandangan dan pendapat. Ketiga, menolak pengkafiran terhadap sesama muslim. Keempat, memajukan dan menggembirakan masyarakat. Kelima, memahami realitas dan prioritas. Keenam, menghindari fanatisme berlebihan terhadap kelompok atau paham keagamaan tertentu. Dan ketujujh, memudahkan pelaksanaan ajaran agama.
Kelima, mewujudkan rahmat bagi seluruh alam. Menurut Ariati bahwa Islam adalah rahmat bagi semesta alam. Karena itu, setiap muslim berkewajiban untuk mewujudkan kerahmatan itu dalam kehidupan yang nyata.
“Islam harus dihadirkan sebagai pendorong bagi terciptanya perdamaian dan kerukunan, dan di tengah-tengah situasi ketidakadilan, maka ia harus ditampilkan sebagai agama yang mewujudkan keadilan dan menghilangkan kezaliman.
Misi kerahmatan itu bukan saja penting bagi kemaslahatan umat manusia, tetapi juga bagi kemaslahatan seluruh makhluk ciptaan Allah di muka bumi ini, seperti hewan, tumbuh-tumbuhan, lingkungan dan sumber daya alam.” jelasnya. (*)
What's Your Reaction?
-
Like
-
Dislike
-
Funny
-
Angry
-
Sad
-
Wow