Buya Anwar Abbas: Dunia Ekonomi Cenderung Mengenyangkan Perut Sendiri
JAKARTA โ Istilah socio-technopreneur menjadi tema dalam webinar Institut Teknologi dan Bisnis (ITB) Ahmad Dahlan, Jakarta. Kegiatan daring itu diadakan Senin (24/1) untuk memperingati milad ke-54 institut pendidikan tersebut.
Doktor Anwar Abbas, M.M., M.Ag., Ketua PP Muhammadiyah, menjadi keynote speaker pada kegiatan itu. Secara kritis, ia mengupas tema acara yang secara lengkap berbunyi โSocio-Technopreneur: Ikut Arus atau Tergerus?โ.
Istilah socio-technopreneur dalam tema itu, menurutnya, selaras dengan Sustainable Development Goals (SDGs) milik Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB). โBagaimana kita mencetak pengusaha yang bisa memanfaatkan teknologi. Kemudian kalau dia mendapat untung tidak hanya untuk dia sendiri, tapi untuk dizakatkan, untuk di-share,โ jelasnya.
Selama ini dalam dunia ekonomi, pengusaha dan perusahaan cenderung lebih sibuk mengenyangkan perutnya sendiri dan menjadi economic animals atau โbinatang ekonomiโ. Kebebasan yang diusung dalam ekonomi menjadikan pasar seperti tempat bersaing. Ini mendukung pernyataan hukum Charles Darwin, โYang bisa survive hanya yang paling prima.โ
Lebih lanjut, Anwar Abbas mengkritik bagian akhir dari tema kegiatan itu, โIkut arus atau tergerus?โ Keduanya tidaklah diinginkan. Tema tersebut seolah memperpanjang diskusi terkait sistem ekonomi liberalisme-kapitalisme dan sosialisme-komunisme.
SDGs sebenarnya memiliki cita-cita yang bagus. โSilakan mencari profit, tapi jangan lupa berbagi dengan orang lain dan tetap peduli dengan lingkungan,โ terangnya. Namun ia juga melihat sifat SDGs ini terlalu berpandangan antroposentrisme, dimana manusia seakan-akan menjadi penentu utama dalam berjalannya kehidupan di bumi.
Padahal, seperti yang kita tahu bahwa Yang Maha Menentukan segala sesuatu di dunia ini sebenarnya adalah Tuhan yang Maha Kuasa. Pandangan geosentrisme semestinya lebih dikedepankan dalam hal ini.
Anwar Abbas berpendapat, โSistem Ekonomi Pancasila adalah sistem ekonomi terbaik yang saya temukan di dunia hari ini.โ Berbeda dengan ekonomi kapitalisme atau komunisme, ideologi ini berhasil menempatkan manusia pada tempatnya, yakni sebagai hamba yang harus tunduk dan patuh kepada Tuhannya.
Ia mengatakan bahwa Prof. Dr. Mubyarto menyebut ini sebagai sistem Ekonomi Pancasila. Sedangkan, Bung Hatta menyebutnya dengan sosialisme versi Indonesia, untuk membedakan dengan sosialisme marxisme. Lain lagi, Sri Edi Swasono, menantu Bung Hatta, memakai istilah sosialisme religius.
Ketiganya memiliki makna substansi yang sama. Bagaimana ekonomi tetap bisa terselenggara dengan tetap memperhatikan nilai-nilai agama. Dari situ, Anwar Abbas merekomendasikan agar frasa di bagian belakang tema webinar hari itu semestinya diubah.
โKita ingin bangsa kita maju, tapi bukan maju seperti dunia barat dan Eropa,โ tegasnya. Sebab di balik kemajuan pengetahuan dan teknologi di negara-negara itu, terdapat kebrobokan mental dan krisis identitas yang dialami masyarakatnya.
Ia menyayangkan bahwa kampus-kampus hari ini cenderung mengulas ekonomi lewat pandangan liberalisme-kapitalisme. Kuliah sosiologi juga terjebak pada sosiologi positivisme, psikologi pun terkotak pada teori Sigmund Freud. Padahal, kesemua itu semakin menjauhkan negeri ini dari cita-cita awalnya dan nilai-nilai agama.
โITB AD harus bisa mereposisi dirinya agar tidak terjebak dua poros ekonomi itu,โ pesannya.
Kegiatan itu pun dilanjutkan dengan penyampaian materi dari para narasumber yakni Mardigu Wowiek P. dan Indra Setiawan yang materinya diulas dalam berita terpisah. (*)
Wartawan: Ahimsa W. Swadeshi
Editor: Heru Prasetya
What's Your Reaction?
-
Like
-
Dislike
-
Funny
-
Angry
-
Sad
-
Wow